perkembangan kebudayaan Hindu tidak dapat lepas dari peradaban Lembah Sungai Indus, di India. Pada tahun 1500 SM Agama dan Kebudayaan Hindu tumbuh bersamaan dengan kedatangan Bangsa Arya ke kota Mohenjodaro dan Harappa melalui celah Kaiber. Kedatangan bangsa Arya ini mendesak Bangsa Dravida dan Bangsa Munda yang merupakan suku asli yang telah mendiami daerah tersebut.
Bangsa Arya mempunyai kepercayaan untuk memuja banyak Dewa (Polytheisme), dan kepercayaan Bangsa Arya tersebut berbaur dengan kepercayaan asli Bangsa Dravida. Istilah Hindu diperoleh dari nama daerah asal penyebaran Agama dan Kebudayaan Hindu Lembah Sungai Indus/Hindustan. Dalam perkembangannya, terjadinya perpaduan antara budaya Arya, budaya Dravida, dan budaya Munda yang kemudian disebut kebudayaan Hindu (Hinduisme).
Pada dasarnya yang dimangsut dengan Hinduisme adalah seluruh pandangan hidup, adat-istiadat, maupun keyakinan yang dianut oleh bangsa yang tinggal di anak benua India berdasarkan Veda. Dalam perkembangnnya para pemeluknya telah mengalami perubahan sebagai perpaduan antara Brahmanisme dan yang berdasarkan Veda dengan Budisme yang berdasarkan Jainisme.[1]
Masuknya Pengaruh Hinduisme Ke Indonesia
Hubungan dagang antara orang Indonesia dan India telah mengakibatkan masuknya pengaruh budaya India masuk ke Indonesia. Proses masuknya pengaruh masuknya agama dan kebudayaan Hindu (Hinduisme) ke Indonesia diperkirakan terjadi sejak abad pertama masehi. Terkait dengan siapa yang berperan aktif dalam penyebaran Kebudayaan dan Agama Hindu di Indonesia, tidak dapat diketahui secara pasti, pada pokonya pendapat peneliti dapat dibagi menjadi dua, yaitu[2] :
1. Bangsa India Bersifat Aktif
Dalam pandangan ini, Bangsa India memiliki peran yang begitu besar dalam menyebarkan Agama dan Kebudayaan Hindu di Indonesia. Dalam pengertian lain bahwa masyarakat Indonesia hanya sekedar menerima budaya dari India. Dengan demikian akan menimbulkan kesan bila telah terjadi penjajahan/kolonisasi yang dilakukan bangsa India baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun teori-teori yang mendukung pandangan ini, yaitu:
a) Teori Ksatria
Teori Ksatria menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hinduisme ke Indonesia dibawa oleh kaum bangsawan/prajurit/ksatria. Ada beberapa tokoh yang mendukung teori ini, seperti:
1) J.L. Moens menjelaskan bahwa yang membawa Agama dan Kebudayaan Hindu ke Indonesia adalah kaum ksatria atau bangsawan. Karena pada abad ke 4-5 Masehi di India terjadi kekacauan politik/ peperangan, maka bansawan yang kalah perang terdesak dan menyingkir ke Indonesia serta mereka nantinya mendirikan kerajaan di Indonesia.
2) C.C. Berg menjelaskan bahwa golongan ksatria turut menyebarkan kebudayaan Hindu di Indonesia. Para ksatria India ini ada yang terlibat konflik dalam masalah perebutan kekuasaan di Indonesia. Bantuan yang diberikan oleh para ksatria ini sedikit banyak membantu kemenangan bagi salah satu kelompok atau suku di Indonesia yang bertikai. Sebagai hadiah atas kemenangan itu, ada di antara mereka yang dinikahkan dengan salah satu putri dari kepala suku atau kelompok yang dibantunya. Dari perkawinannya itu, para ksatria dengan mudah menyebarkan tradisi Hindu kepada keluarga yang dinikahinya tadi. Selanjutnya berkembanglah tradisi Hindu dalam kerajaan di Indonesia.
3) F.D.K Bosh berpendapat bahwa telah terjadi kolonisasi oleh orang-orang India. Koloni orang-orang India ini menjadi pusat penyebaran budaya India. Dalam proses masuknya budaya India dipegang oleh golongan prajurit, yaitu kasta ksatria.[3]
4) Mookerji mengatakan bahwa golongan ksatria dari Indialah yang membawa pengaruh kebudayaan Hindu-Budha ke Indonesia. Para Ksatria ini selanjutnya membangun koloni-koloni yang berkembang menjadi sebuah kerajaan.
Namun, dari penjelasan teori kstria masih ada beberapa kelemahan, diantaranya:
1) Kalangan ksatria tidak mengerti agama dan hanya mengurusi pemerintahan. Karena dalam struktur masyarakat Hindu kaum brahmanalah yang menguasai masalah keagamaan.
2) Adanya ketidakmungkinan seorang pelarian mendapat kepercayaan dan kedudukan mulia sebagai raja. Tidak mungkin pelarian ksatria dari India bisa mendapatkan kedudukan mulia sebagai raja di wilayah lain, sedangkan di Indonesia masa itu, seseorang dapat menjadi pemimpin suatu wilayah karena dia dirasa mempunyai kemampuan lebih daripada yang lainnya. Tidak mungkin rakyat menginginkan orang yang telah mengalahkan rakyat di wilayah itu untuk menjadi raja mereka karena mereka pasti harus hidup dalam tekanan dari orang yang tidak mereka kenal.
3) Tidak adanya bukti kolonialisasi di Indonesia oleh kaum ksatria India. Padahal suatu penaklukkan pasti akan dicatat sebagai sebuah kemenangan. Memang pernah ada serbuan dari bangsa India yang terjadi 2 kali dalam waktu singkat oleh kerajaan Colamandala (raja Rajendra Coaldewa) atas kerajaan Sriwijaya yaitu pada tahun 1023 M dan 1030 M. Meskipun berhasil menawan raja Sriwijaya tetapi serangan tersebut berhasil dipatahkan/dikalahkan.
4) Jika terjadi kolonisasi/penaklukkan pasti akan disertai dengan pemindahan segala aspek/unsur budaya masyarakat India secara murni di Indonesia seperti sistem kasta, tatakota, pergaulan, bahasa, dsb. Tetapi kehidupan masyarakat di Indonesia tidak menunjukkan hal yang sama persis (tidak asli) dengan kehidupan masyarakat India dari sini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi penguasaan secara mendasar pada segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Budaya Indonesia memiliki peran yang besar dalam proses pembentukan budaya India-Indonesia sehingga yang tampak adalah bentuk akulturasi budayanya.[4]
b) Teori Waisya
Teori ini menyatakan bahwa masuknya pengaruh Agama dan Kebudayaan Hindu (Hinduisme) di Indonsia dibawa oleh para pedagang India. Dr. N.J. Krom mengemukakan ada 2 kemungkinan Agama dan Kebudayaan Hindu disebarkan oleh para pedagang, yaitu:
1) Para pedagang dari India melakukan perdagangan dan akhirnya sampai ke Indonesia memang hanya untuk berdagang. Melalui interaksi perdagangan itulah agama dan kebudayaan Hindu disebarkan pada rakyat Indonesia.
2) Para pedagang dari India yang singgah di Indonesia kemudian mendirikan pemukiman sembari menunggu angin musim yang baik untuk membawa mereka kembali ke India. Merekapun akan berinteraksi dengan penduduk sekitar dan menyebarkan agama pada penduduk lokal Indonesia. Selanjutnya jika ada yang tertarik dengan penduduk setempat dan memutuskan untuk menikah serta berketurunan maka melalui keturunan inilah agama Hindu disebarkan ke masyarakat sekitar.[5]
Dari penjelasan Dr. N.J. Krom diatas, ternyata ada beberapa kelemahan dari Teori Waisya, diantaranya:
1) Kaum Waisya tidak mempunyai tugas untuk menyebarkan agama Hindu sebab yang bertugas menyebarkan agama Hindu adalah Brahmana. Lagi pula para pedagang tidak menguasai secara mendalam ajaran agama Hindu dikarenakan mereka tidak memahami bahasa Sansekerta sebagai pedoman untuk membaca kitab suci Veda.
2) Motif mereka datang sekedar untuk berdagang bukan untuk menyebarkan agama Hindu sehingga hubungan yang terbentuk antara penduduk setempat bahkan pada raja dengan para saudagar (pedagang India) hanya seputar perdagangan dan tidak akan membawa perubahan besar terhadap penyebaran agama Hindu.
3) Mereka lebih banyak menetap di daerah pantai untuk memudahkan kegiatan perdagangannya. Mereka datang ke Indonesia untuk berdagang dan jika mereka singgah mungkin hanya sekedar mencari perbekalan untuk perjalanan mereka selanjutnya atau untuk menunggu angin yang baik yang akan membawa mereka melanjutkan perjalanan. Sementara itu kerajaan Hindu di Indonesia lebih banyak terletak di daerah pedalaman seperti Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Sehingga, penyebarluasan agama Hindu tidak mungkin dilakukan oleh kaum Waisya yang menjadi pedagang.
4) Meskipun ada perkampungan para pedagang India di Indonesia tetapi kedudukan mereka tidak berbeda dengan rakyat biasa di tempat itu, mereka yang tinggal menetap sebagaian besar hanyalah pedagang-pedagang keliling sehingga kehidupan ekonomi mereka tidak jauh berbeda dengan penduduk setempat. Sehingga pengaruh budaya yang mereka bawa tidaklah membawa perubahan besar dalam tatanegara dan kehidupan keagamaan masyarakat setempat.
5) Tulisan dalam prasasti dan bangunan keagamaan Hindu yang ditemukan di Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta yang hanya digunakan oleh Kaum Brahmana dalam kitab-kitab Weda dan upacara keagamaan.[6]
c) Teori Brahmana
Teori ini menyatakan bahwa yang membawa masuk dan menyebarkan Agama serta Kebudayaan Hindu di Indonesia adalah kaum Brahmana dari India.
Menurut J.C. Van Leur beberapa alasan mengapa Agama dan Kebudayaan Hindu disebarkan oleh brahmana:
1) Agama Hindu adalah milik kaum Brahmana sehingga merekalah yang paling tahu dan paham mengenai ajaran agama Hindu. Urusan keagamaan merupakan monopoli kaum Brahmana bahkan kekuasaan terbesar dipegang oleh kaum Brahmana sehingga hanya golongan Brahmana yang berhak dan mampu menyiarkan agama Hindu.
2) Prasasti Indonesia yang pertama menggunakan berbahasa Sansekerta, sedangkan di India sendiri bahasa itu hanya digunakan dalam kitab suci dan upacara keagamaan Hindu. Bahasa Sansekerta adalah bahasa kelas tinggi sehingga tidak semua orang dapat membaca dan menulis bahasa Sansekerta. Di India hanya kasta Brahmana yang menguasai bahasa Sansekerta sehingga hanya kaum Brahmana-lah yang dapat dan boleh membaca kitab suci Weda.
3) Karena kepala suku yang ada di Indonesia kedudukannya ingin diakui dan kuat seperti raja-raja di India maka mereka dengan sengaja mendatangkan kaum Brahmana dari India untuk mengadakan upacara penobatan dan mensyahkan kedudukan kepala suku di Indonesia menjadi raja. Dan mulailah dikenal istilah kerajaan. Karena upacara penobatan tersebut secara Hindu maka secara otomatis rajanya juga dinyatakan beragama Hindu, jika raja beragama Hindu maka rakyatnyapun akan mengikuti rajanya beragama Hindu.
4) Ketika menobatkan raja kaum Brahmana pasti membawa kitab Weda ke Indonesia. Sebelum kembali ke India tak jarang para Brahmana tersebut akan meniggalkan Kitab Weda-nya sebagai hadiah bagi sang raja. Kitab tersebut selanjutnya akan dipelajari oleh sang raja dan digunakan untuk menyebarkan agama Hindu di Indonesia.
5) Para brahmana sengaja didatangkan ke Indonesia karena raja yang telah mengenal Brahmana secara khusus meminta Brahmana untuk mengajar di lingkungan istananya. Dari hal inilah maka agama dan budaya India dapat berkembang di Indonesia. Sejak itu mulailah secara khusus kepala suku-kepala suku yang lain yang tertarik terhadap budaya dan ajaran Hindu mengundang kaum Brahmana untuk datang dan mengajarkan agama dan budaya India kepada masyarakat Indonesia.
6) Teori ini didukung dengan adanya bukti bahwa terdapat koloni India di Malaysia dan pantai Timur Sumatera (populer dengan nama Kampung Keling) yang banyak ditempati oleh orang Keling dari India Selatan yang memerlukan kaum Brahmana untuk upacara agama (perkawinan dan kematian).
Namun pendapat J.C. Van Leur terkait teori brahmana masih memiliki beberapa kelemahan, diantaranya:
1) Menurut ajaran Hindu kuno seorang Brahmana dilarang untuk menyeberangi lautan apalagi meninggalkan tanah airnya. Jika ia melakukan hal tersebut maka ia akan kehilangan hak akan kastanya. Sehingga mendatangkan para Brahmana ke Indonesia bukan merupakan hal yang wajar.
d) Teori Sudra
Teori ini menyatakan bahwa masuk dan berkembangnya kebudayaan serta agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India yang berkasta Sudra. Van Feber memperkuat teori Sudra yang didasarkan pada:
1) Orang India berkasta Sudra (pekerja kasar) menginginkan kehidupan yang lebih baik daripada mereka tinggal menetap di India sebagai pekerja kasar bahkan tak jarang mereka dijadikan sebagai budak para majikan sehingga mereka pergi ke daerah lain bahkan ada yang sampai ke Indonesia.
2) Orang berkasta sudra yang berada pada kasta terendah di India tidak jarang dianggap sebagai orang buangan sehingga mereka meninggalkan daerahnya pergi ke daerah lain bahkan keluar dari India hingga ada yang sampai ke Indonesia agar mereka mendapat kedudukan yang lebih baik dan lebih dihargai.[7]
Namun, dalam teori sudra ini masih memiliki beberapa kelemahan, diantaranya:
1) Golongan Sudra tidak menguasai seluk beluk ajaran agama Hindu sebab mereka tidak menguasai bahasa Sansekerta yang digunakan dalam Kitab Suci Weda (terdapat aturan dan ajaran agama Hindu). Terlebih tidak sembarang orang dapat menyentuhnya, membaca dan mengetahui isinya.
2) Tujuan utama golongan Sudra meninggalkan India adalah untuk mendapat penghidupan dan kedudukan yang lebih baik (memperbaiki keadaan/kondisi mereka). Sehingga jika mereka ke tempat lain pasti hanya untuk mewujudkan tujuan utama mereka bukan untuk menyebarkan agama Hindu.
3) Dalam sistem kasta posisi kaum sudra ada pada kasta terendah sehingga tidak mungkin mereka mau menyebarkan agama Hindu yang merupakan milik kaum brahmana, kasta diatasnya. Jika mereka menyebarkan agama Hindu berarti akan lebih mengagungkan posisi kasta brahmana, kasta yang telah menempatkan mereka pada kasta terendah.
2. Bangsa Indonesia Bersifat Aktif
Dalam pandangan ini, bangsa Indonesia memiliki peran yang begitu besar dalam menyebarkan Agama dan kebudayaan hindu di Indonesia. adapun teori yang mendukung pandangan ini yaitu:
a) Teori Arus balik
Teori ini di kemukakan oleh F.D.K Bosch. Ia mengemukakan peranan bangsa Indonesia sendiri dalam penyebaran dan pengembangan agama hindu.
Para ahli yang telah meneliti masyarakat Indonesia kuna berpendapat bahwa unsur budaya Indonesia lama masih nampak dominan sekali dalam semua lapisan masyarakat. salah satu hal yang mencolok dalam masyarakat Hindu adalah adanya kasta, penerapan sistem kasta di Indonesia tidak seperti di India.
Selanjutanya, dalam penyebaran budaya India di Indonesia dilakukan oleh kaum terdidik. Akibat interaksinya dengan para pedagang India, di Indonesia terbentuk masyarakat Hindu terdidik yang di kenal dengan sangha. Mereka giat mempelajari bahasa Sanskerta, kitab suci, sastra, dan budaya tulis. Mereka kemudian memperdalam agama dan kebudayaan Hindu di India. Sekembalinya ke Indonesia mereka mengembangkan agama dan kebudayaan tersebut. Hal ini bisa diliat dari peninggalan dan budaya yang memiliki corak keindonesiaan. SUKSMA....
0 komentar:
Posting Komentar